Hari ini saya melihat sebuah artikel yang menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia itu bobrok, dokternya hanya mata duitan mau balikin modal karena dulu sekolahnya mahal, dokter terkesan malas menangani pasien miskin, pasien harus bayar uang muka yang mahal, dokter luar negri lebih baik dan lain sebagainya. Hati saya sedih melihat pemikiran orang yang sedemikian buruknya... Sebagai residen di salah satu rumah sakit pemerintah tentu saja saya sangat berhubungan dengan masalah pasien jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat) dan gakinda (semacam jaminan kesehatan untuk keluarga miskin).
Pertama, kami selalu menerima pasien dengan sikap yang sama. Karena kami selalu beranggapan bagaimana jika pasien itu adalah keluarga kami sendiri. Dan kami sangat menyadari bahwa pertanggungjawaban kami bukan hanya pada kalian para pasien, atau pada konsulen (guru) kami, namun terlebih kepada Tuhan. Ketika kami jaga, kami selalu memeriksa kapanpun pasien itu datang. Kami berusaha tersenyum seberapa lelahnyapun kami. Namun sering kali kami terhambat dengan keterbatasan jumlah plafon maksimal yang diberikan oleh jaminan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah daerah setempat. Misalnya saja daerah ciamis yang hanya mau memberikan 1 jt untuk penduduknya jika dirawat, selebihnya harus ditanggung sendiri. Atau daerah lain yang hanya 2,5 juta (plafon maksimal untuk pasien neuro, apapun masalahnya). Kami terjebak di tengah, bukan kami (para dokter) yang memberikan batasan, bukan kami yang tidak mau memberikan yang terbaik namun dengan segala keterbatasan tersebut tetap kamilah yang selalu disalahkan. Kami yang dianggap tidak mau menerima pasien atau mata duitan.
Kedua, penyebaran jamkesmas sering kali tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pernah suatu ketika datang seorang bapak yang tampak berkecukupan dirawat. Ketika saya tanyakan ingin dirawat di kelas berapa, ternyata si bapak dengan santainya berkata, ahh,, saya akan memakai jamkesmas saja. Lurahnya saudara saya. Dalam hati, saya sangat marah sekali. Dengan mudahnya dia mendapat akses jamkesmas. Dan hal ini bukan terjadi satu atau dua kali saja. Ada keluarga artis (penyanyi) yang berpakaian cukup mahal tapi memakai fasilitas jamkesmas, belum lagi para pasien yang bahkan handphonenya jauh lebih bagus dari punya saya, ataupun tiba-tiba ada delivery hoka-h*ka b*nto yang datang untuk keluarga pasien jamkesmas atau gakinda. Ckckckck, semudah itukah jamkesmas atau gakinda didapat?
Ketiga, birokrasi untuk mendapatkan surat keterangan miskin itu sangat rumit (jika tidak mengenal man behind it). Beberapa kali saya terbentur dengan pasien yang akhirnya "terpaksa" pulang paksa karena masalah urusan mendapatkan surat miskin itu sangat sulit (ironis sekali dibandingkan dengan cerita saya yang tadi, bukan?). Paling kasihan adalah salah satu pasien saya yang selama perawatan saya biayai obat-obatannya karena benar-benar tidak punya uang dan sedang menunggu persyaratan untuk surat miskin. Pasien itu pasien tetanus, dia akhirnya pulang paksa malam hari tanpa sepengetahuan saya (saya baru tahu keesokan harinya) karena persyaratannya tidak kunjung beres dan beberapa hari kemudian keluarganya datang memberitahukan bapak itu telah meninggal dunia sambil membawa makanan pengganti ucapan terima kasih dan memohon maaf jika ada kesalahan. Kini, siapa yang harus disalahkan?
Keempat, kebijakan yang selalu berubah. Entah mengapa, berbagai macam kebijakan membuat kami sulit bergerak. Misalnya saja, walaupun kami meresepkan untuk satu bulan namun ternyata kadang hanya dapat jatah untuk 5 hari, atau bahkan tidak ada sama sekali. Seringkali pasien kembali dan marah-marah karena menganggap kami tidak meresepkan. Atau pasien yang terpaksa kami resepkan di luar dari formularium yang di jamkesmas atau gakinda sehingga pasien harus membayar sendiri (kami sudah memilikirkan kebutuhan pasien tersebut dan akhirnya memutuskan memang membutuhkannya dengan konsekuensi harus membayar sendiri). namun yang terjadi, tetap dokter yang disalahkan. Padahal kami hanya ingin menyelamatkan nyawa pasien kami.
Kami, para dokter, juga tidak ingin membiarkan pasien kami terlantar sedemikian rupa. Kami juga manusia yang memiliki hati. Kami berupaya semaksimal mungkin. Kami memiliki kas obat-obatan yang kami pakai pada pasien yang tidak mampu, tidak jarang kami membiayai pasien kami bahkan sedari kami masih koas dulu kami berjualan dan keuntungannya untuk membantu pasien kami. Obat-obatan yang tidak ditanggung, biaya pemeriksaan supaya dapat dilakukan operasi kami bayar, bahkan biaya makan penunggu pasienpun terkadang kami tanggung. Namun, apakah semua pasien tidak mampu harus kami yang menanggungnya? Kami, seringkali adalah imbas dari semua persyaratan yang berlaku dan kami selalu yang disalahkan karena kamilah yang berhubungan langsung dengan para pasien.
Seringkali pemikiran orang karena biaya sekolah kami yang tinggi maka kami mencari keuntungan setelah kami lulus. Miris sekali, karena kenyataan yang ada tidak seindah yang anda lihat. Tanyakan pada para dokter yang bekerja di klinik itu, berapa uang duduk mereka? Beberapa puluh ribu saja, dan berapa yang mereka dapat per pasien? Mungkin hanya bisa untuk membeli gorengan. Tidak percaya atau saya berkesan melebih-lebihkan? Ya, sebenarnya di klinik-klinik..hal itulah yang terjadi.. Atau anda mengatakan biaya rumah sakit sedemikian besarnya, semuanya pasti besar di biaya dokternya.. Dokter hanya mendapat puluhan ribu atau selembar kertas merah untuk visite pasien, belum dikurangi sharing partner dengan rumah sakit. Sisanya untuk biaya apa? Ya untuk biaya perawatan, obat-obatan ataupun laboratorium.. Saya tidak ingin mencari pembenaran untuk masalah ini tapi tolonglah, tilik kami lebih dalam. Mengapa kami menjadi terjepit dan tidak dapat bergerak...