Selasa, 12 Juli 2011

Si gadis kecil


Hari ini kulihat seorang gadis duduk sendiri di kursi tunggu sebuah poli spesialis salah satu rumah sakit. Dia duduk sendiri dengan muka yang pucat, agak sedikit merona (mungkin karena demam) dan sesekali tampak menahan sakit sambil memegang kepala dan perutnya. Seorang gadis muda yang tampak sangat lelah. Berkali-kali dilihatnya suster yang memanggil pasien sambil berharap itu adalah gilirannya. Dia sudah lelah. Aku tahu itu, terlihat jelas dari wajahnya. Satu jam, dua jam, sudah hampir tiga jam dia menunggu. Sebenarnya dia bisa saja menggunakan identitasnya untuk mendapatkan giliran yang lebih cepat, namun dia memilih untuk mengambil jalan biasa. Dia kasihan dengan orang yang mengantri lebih dulu darinya.

Ternyata, wanita itu lelah karena beberapa hari kurang tidur. Dalam 3 hari ini badannya dipacu untuk tetap bekerja dan hanya beristirahat kurang lebih 8 jam saja. Itupun terbangun-bangun. Badannya memberontak. Setiap makanan yang dimasukkan akan dikeluarkan lagi, badannya demam, pusingnya luar biasa. Bergerakpun dia sudah sangat letih. Tapi dia tetap berusaha pulang menyetir sendiri, walau sedikit sempoyongan. Namun yang membuatnya menjadi terkapar seperti ini bukan hanya disebabkan karena itu. Hatinya sakit, perih. Dia sedang butuh orang untuk menyayanginya, menjaganya. Tapi apa yang dia dapat? Sepulangnya ke rumah tidak ada orang dan diapun tertidur dalam kesakitan, sesekali terbangun namun dia tetap diam karena lemah. Dia tak mungkin membangunkan kekasihnya yang sedang berada jauh. Satu-satunya harapan adalah orangtuaanya. Namun, apa yang terjadi? Hanya sebuah hardikan tegas. Mengeluhpun dia sudah tidak bisa. Dia pergi ke atas, berlutut dan berdoa. Tuhan, jika semua orang menolakku, masih maukah Kau menerima keluh kesahku? Dan dia kembali tidur malam itu.

Keesokan harinya, dia bangun agak siang karena berniat untuk ke dokter. Perlahan dia turun dari kamarnya di atas. Baru saja melihat batang hidungnya, orang tua sang gadis itu sudah memarahinya. Berteriak-teriak. Si gadis terdiam saja. Tanpa basa basi, kedua orangtuanya pergi tanpa melihat bahwa putri kecil mereka ini sedang kesakitan.

Waha para orang tua, pernahkah kau berfikir bahwa sang anak juga manusia? Bukan hanya benda yang kalian beri makan, kalian caci apabila kalian kesal? Ya, memang kalian yang memberi makan, menyekolahkan bahkan menikahkan. Namun, apa kalian pernah mendengar keluhan mereka? Menyeka isak tangis mereka? Kalian menaruh bara api ke atas kepala mereka. Wajarkah bila mereka semua memberontak karena mereka sama sekali tidak menyukai kalian? Kalian saja tidak pernah memberikan suatu contoh kasih sayang. Apa kasih sayang itu? Uang? Menyekolahkan hingga menghabiskan pundi2 kalian? Dan kalian merasa rugi karenanya? Sehingga si anak harus membayar apa yang telah kalian berikan? Ah, jika memang begitu, sebaiknya kalian tidak perlu seorang anak. Belilah aset, tanah atau apapun, dimana suatu saat nanti kalian dapat memperoleh laba darinya.

Jika kalian tanyakan, apakah gadis itu masih menyayangi orang tuanya? Dia akan menjawab IYA. Karena kasih tidak perlu harus dibalas. Maka kini,, biarlah si gadis kecil itu merintih kesakitan, mungkin hingga dia terbujur kaku,, sehingga kalian dapat mengerti seperti apa rasa pedih yang dia rasakan,, Itu adalah harapan si gadis kecil itu.