Jumat, 30 September 2011

Tuhan,,,, pargogo di au

 
Setiap rumah tangga memiliki permasalahannya sendiri. Saat ini mungkin inilah yang gw rasain karena sekarang gw udah berstatus sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga. Mungkin sebelumnya gw adalah seorang anak yang sangat dimanja dengan segala fasilitas "anak bungsu" yang bahkan hingga menjelang hari pernikahannya masih disuapi sebelum berangkat. Kesulitan kami adalah jarak, sang suami berada di Jakarta mencari nafkah sedangkan sang istri sedang sibuk mengurus sekolah spesialisnya. Waktu juga menjadi permasalahan yang tidak boleh dianggap remeh, karena sang istri masih dijejali dengan jadwal jaga yang sering kali menyita waktu. Sedih rasanya mendengar suami sebelum tidur berkata lirih, "kapan yah kalo aku pulang ada istri di rumah udah nungguin? Udah capek kejar-kejaran dengan waktu.". Dan gw hanya bisa tersenyum. Senyuman yang menyelimuti kepedihan dan kesepian yang sama. Sama seperti saat inni.. Sang suami sebenarnya sedang ada di Bandung namun dia masih bekerja, bahkan untuk bertemu saja kami sudah sulit. Sedih, padahal gw udah nahan lapar demi bisa makan malam bersama. Tapi tampaknya memang tidak bisa, dan janganlah dipaksakan.

Kesulitan bukan hanya itu saja. Sang suami berniat untuk melanjutkan sekolahnya di negeri asing sana. Dilema kembali menyambut. Sang istri kebingungan, dalam hatinya ingin menemani sang suami, namun sekolahnya membuatnya sedikit terbatas. Sayang apabila dilepaskan, sudah setengah jalan. Bagaimana sebuah hubungan suami istri yang bahkan baru dalam hitungan hari sudah berjalan berjauhan? Apabila dalam beberapa hari itupun, pertemuan kami hanya bisa dihitung jari karena cuti hanya 3 hari setelah menikah dan sang istri sudah jaga malam kembali. Bagaimana dan kapan kami akan memiliki buah hati hasil cinta dan kasih sayang kami? Apalagi gw adalah orang yang sangat cemburuan. Ada yang aneh dikit ajah langsung manyun dan kesel ga keruan. Apalagi berjauhan kaya gitu. Dan sebagai dokter, gw juga tau bahwa kebutuhan seksual itu penting, maka mulailah pemikiran-pemikiran aneh akan menyusup. Hmm... Pertimbangan yang berat. Memang itu sudah jalannya.

Masalah tempat tinggal juga menjadi masalah. Sang istri sudah terbiasa hidup dengan bantuan orang lain dan bisa dikatakan tergantung. Sekarang sang istri harus bisa untuk mandiri, apalagi nanti ketika ditinggal sang suami. Untunglah kami sudah memiliki sebuah tempat tinggal yang dekat dengan rumah sakit dan cukup nyaman. Itupun baru tersedia dalam detik2 terakhir masa lajang kami. Masalah lain, bukan merupakan rahasia apabila sekolah membutuhkan biaya yang tinggi, belum lagi sang suami juga ingin melanjutkan sekolah di luar.Belum lagi masalah isi rumah, keluarga besar dan hal-hal lainnya yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu.

Jadi, jika semua itu kami pikirkan dengan akal dan pikiran kami sendiri, sudah barang tentu kami akan stres bahkan mungkin depresi. Satu perkataan suami gw yang selalu gw pegang.. Kita ga mungkin bisa pikirin itu semua, hanya Tuhan. Ya, hanya Tuhan saja.. Makanya ga bosen-bosen gw puter lagunya sari simorangkir. Karena lagu itulah yang menemani mulai dari rencana pernikahan kami. Apapun yang terjadi, Tuhan.. Biarlah Engkau yang menjaganya. Biarlah Engkau yang menjadi kepala dalam rumah tangga kami. Amiiiinnnn....

Rabu, 28 September 2011

Ho do Tuhan

Saat dalam kegelapan, saat semua menjadi tidak jelas, lagu ini menemaniku. Sebenernya pengen nyanyi ini pas di nikahan gw, tapi ga sempet... Semoga lagu ini bisa nguatin semua yah, buat yang ga ngerti bahasa batak ya tanya ajah, hehhee.. Ini adalah terjemahan kasar sesuai kemampuan berbahasa batak gw, kiranya lagu ini menjadi berkat buat kalian juga yah... Sedikit cerita.. Pertama kali denger di mobil suami gw, makasih ya sayang udah memasukkan ini dalam kepala,, (selain memainkan musik "keras" kesukaanmu itu).

DANG ALANI HAGOGOONKI
(bukan karena kekuatanku)
BOI AHU MARDALAN DI NGOLU'KON
(aku dapat berjalan di dalam kehidupan)
AUT UNANG HO NA DILAMBUNGKI
(jika bukan Kau di sebelahku)
TUNG SO BOI AHU SONGON ON
(aku tidak akan mampu seperti ini)
HO DO HAGOGOON MANUNGKOLI AHU
(Engkaulah kekuatan yang menopangku)


HUBERENG BOHIM LAOS MARTANGIANG AHU
(kupandang wajahMu lalu ku berdoa)
MANGIDO PANGURUPION DI AHU
(meminta pertolongan dariMu untukku)
SAI TIOP TANGANKU SAI TOGU MA AHU
(peganglah tanganku, tetap pegang aku)
AI HO DO TUHAN PARGOGO DI AHU
(hanya Engkaulah Tuhan, kekuatanku)

Selasa, 27 September 2011

our amazing wedding

Akhir dari sebuah perjalanan yang akan menjadi sebuah langkah awal dari sebuah jalan yang baru.. Pertama kali aku melihatnya, sebuah malam yang dingin, sesudah aku pulang jaga. Sebuah perkenalan yang tidak sengaja dan begitu polos. Aku melihatnya berdiri di depan gerbang itu, menungguku membukakan pintu rumahku. Sebuah kaleng biskuit durian menjadi saksi percakapan pertama kami. Sebuah kesengajaan yang tidak akan pernah terfikir menjadi akhir dari penantianku selama ini. Itulah pertama kali aku bertemu dengannya..

Siapa bilang jalan kami mudah? Siapa bilang jalan kami tampak baik-baik saja? Bahkan sampai saat inipun aku masih berfikir keras mengapa kami dapat bertahan hingga sejauh ini. Berbagai prasangka, cacian, kecurigaan, masa lalu terbalut dengan begitu rapih dan muncul satu persatu. Setiap hari, hampir setiap malam. Tidak terhitung betapa banyaknya SMS ataupun jam-jam yang berakhir pada pertengkaran demi pertengkaran. Umumnya semua permasalahan kami adalah dari orang lain. Masalah kami adalah orang ketiga, keempat, kelima, keenam, dst dst..

Konflik, gesekan dan semua itu memperuncing permasalahan kami berdua. Berbagai cacian yang menyakitkan dilontarkan. Dan perlu diketahui bahwa semua itu sangat parah. Tidak jarang kami berdua sering memutuskan untuk berhenti dan menyerah atau bahkan kawin lari. Perlahan. Membusuk. Menggerogoti. Tapi kami berdua masih bertahan. Dengan sisa-sisa kekuatan kami. Sekalipun kami harus merangkak dan menampung air mata. Saat itu kami tersadar bahwa semua itu bukanlah karena kekuatan kami. Semua itu bukan karena kebijakan kami. Membela diri, egois, saling memihak,, sebenarnya itu yang Allah bungkus menjadi pengertian, bersabar, merendahkan diri dan memaafkan. 


Ketakutan...
Itulah yang kami rasakan setiap kali ada pertemuan keluarga. Itulah yang menjadi momok menyeramkan. Terlalu banyak liku dan masalah, terlalu banyak permintaan, terlalu banyak kesulitan. Namun Tuhan itu luar biasa, semua itu dibalutnya dengan rapih. Sangat rapih.

Undangan yang selalu bermasalah, baru menghubungi make up rias pengantin, bunga untuk hand bouquet masih ada di perjalanan, mengangkut alat musik karena ternyata tidak disediakan gereja, mengurus ke RT, RW, kelurahan dan catatan sipil, semua itu kami lakukan H-1 pernikahan kami. Itulah perbedaan kami dengan pasangan yang lainnya. Tidak ada yang namanya luluran, perawatan dan semacamnya (bahkan masih jaga), jauh2 dari dipingit (yang ada malah ketemuan), tidak ada kata istirahat bagi sang calon mempelai karena masih gotong-gotong barang. Semua itu kami lakukan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Tuhan memberika bantuan dari mana saja. Ketika kami butuh pemain untuk mengiringi, Tuhan mempertemukan kami di gereja. Ketika kami membutuhkan alat musik (notabene sudah itung jam dari acara), Tuhan membukakan hati salah satu petugas tempat les musik untuk menyediakan alat yang kami butuhkan. Ketika kami bingung mencari tempat berteduh para saudara yang datang, Tuhan menyediakan sebuah wisma yang sangat nyaman. Ketika kami tak tahu tempat untuk tinggal setelah menikah, Tuhan memberikan sebuah rumah. Ketika orang lain membutuhkan waktu satu minggu untuk mendaftarkan ke catatan sipil, kami mengerjakannya dalam hitungan jam, yah,,,, semua itu terjadi di detik2 terakhir kami. Satu yang aku secara pribadi syukuri, bahwa kami melakukan semua itu berdua. Kami berjalan kaki, bergandeng tangan dan menapaki berdua. Kata pingit itu sudah berganti menjadi bergandengan tangan. Dan Tuhan menyertai kami dengan cara yang luar biasa.

Lihatlah senyum mereka, Tuhan sudah mengganti amarah mereka. Lihat tawa mereka, Tuhan sudah mengganti amarah mereka. Dengar ucapan mereka, Tuhan sudah mengganti cacian mereka. Lihat air mata bahagia mereka, Tuhan sudah meredam tajam amarah mereka. Rasakan pelukan mereka, Tuhan sudah mengganti rasa dingin mereka. Terima kasih, Tuhan.. Terima kasih...

Tidak mungkin kami mengucapkan rasa terima kasih kami satu persatu. Biarlah Tuhan yang membalas semua pihak yang telah membantu kami melangsungkan sebuah pernikahan yang kiranya dapat menjadi berkat bagi orang lain... Biarlah semua orang berbahagia karena kami. Maafkan jika dalam perjalan kami, kami berbuat salah dan menyakiti. Mohon maaf apabila kami bertutur dan berperilaku kurang berkenan, mohon maaf untuk para mantan yang masih mengharapkan. Satu pintaku... Doakan kami.