Sabtu, 10 Juli 2010

bunga biruku,,,


Pagi itu,
Hari itu pertama kali aku bertemu dengannya. Sosok lelaki setengah baya yang tergeletak tak berdaya yang ditinggalkan atau dibuang tak berdaya, akupun tak tahu apa yang telah terjadi padanya. Bagaikan sebuah layar, semua informasi tentang pria ini adalah sebuah misteri. Sekilas kulihat bahwa dia tidak berdaya, lemah dan bingung. Kini, dia sepenuhnya adalah tanggungjawabku. Satu2nya informasi tentang pasienku yang satu ini adalah sepucuk surat rujukan dan polisi yang mengatakan bahwa dia ditemukan oleh masyarakat dalam keadaan tidak sadar di tengah jalan sumedang dengan pakaian rapih, memakai sepatu, peci, jam tangan dan tas berisi beberapa pakaian rapih, beserta sebuah map berisi kartu keluarga dan foto keluarganya ketika dia masih muda. Pikiranku mulai berfantasi, spekulasi pertama,, dia hendak pergi ke tempat seseorang yang bernama H. Darya karena dibelakang foto seorang wanita terdapat alamat H. Darya dan angkutan yang kesana. Kedua, dia bertengkar dengan istrinya dan pergi karena dalam hematku, mana mungkin orang bepergian membawa kartu keluarga dan foto keluarga, spekulasi ketiga,, ah sudahlah,,, mungkin kalau aku ceritakan satu demi satu spekulasiku itupun tidak akan mungkin menyelesaikan masalah. Yang terpenting sekarang adalah pengobatan untuk "papih" (begitu aku memanggilnya) karena dia terserang stroke.

Waktu berlalu dan kini keadaannya sudah lebih membaik namun kerusakan otak yang dialaminya membuatnya tidak dapat berbicara walau dia mengerti apa yang aku bicarakan. Berulang-ulang aku berusaha untuk membuatnya mengingat keluarga dan alamatnya namun semua itu hanya sia-sia. Aku mencari ke alamat yang tertera dalam kartu keluarganya dan ternyata dia sudah lama pindah dari sana dan tidak ada yang tahu kemana. Tetangganya hanya berkata bahwa mereka pindah ke sumedang karena keluarga besarnya berada disana. Kamipun mencari ke alamat H. Darya namun ternyata tidak seorangpun yang bernama H. Darya di tempat itu. Sungguh sangat sulit mencari keluarganya.

Kini, mari kuceritakan tentang bapak yang satu ini. Nama yang tertera di kartu keluarga itu adalah Endang Suherman, sebuah nama yang mungkin akan kuingat selalu. Seseorang yang mampu membuatku mencari hingga ke pamengpeuk, mencucikan bajunya ke laundry, membelikannya pampers, membuatku bersitegang dengan pihak social worker yang tidak bekerja mencari keluarga bapak ini dan seseorang yang membuatku masuk koran. Seseorang yang kupanggil papih... Dia berusia 60 tahunan, berambut putih dengan giginya yang ompong. Awalnya aku kesal sekali karena setiap hari dia selalu menarik NGT (alat untuk memasukkan makanan karena dia belum bisa makan lewat mulut). Semua perawat bahkan sudah capek bila aku meminta mereka memberinya makan, minum dan memandikannya. Sebenarnya aku selalu menyempatkan diri memberinya minum setiap kali sebelum aku pulang namun setelahnya adalah tugas perawat, namun ini adalah ruang kelas gakin dimana tidak ada pelayanan seperti pasien kelas. Sedih sekali memang, dan harus kuakui aku kurang memberi banyak waktu untuk papihku ini karena kebetulan waktu itu pasienku banyak dan gawat. Ketika aku jaga malam, aku selalu menyempatkan waktu berbicara dengannya lebih lama karena aku tahu dia kesepian. Ada suatu kejadian yang membuatku sedikit tersenyum. Hari itu, salah seorang perawatku meminta ijin untuk mencukur papihku. Saat itu dia didorong keluar ruangan dan berjemur. Kami bercanda, "pak Endang, mau digundulin?", dia mengangguk dan kami bercanda. Saat itu dia tersenyum. Pertama kali aku melihatnya tersenyum, dan sejak itu aku selalu meminta perawat untuk membawanya keluar ruangan dan kadang aku menemaninya sebentar. Bahkan pernah aku membawanya turun dari lantai 5 dan berjalan-jalan sebentar sambil rontgen ulang papih yang memang menjadi batuk-batuk. Dia bukan orang yang rewel. Malam itu, aku sedang jaga dan berbicara padanya. Aku bercerita bahwa aku tidak menemukan keluarganya sambil memijat kakinya. Aku melatih kakinya. Dia tampak begitu tenang dan tidak rewel. Saat aku berkeliling, aku melihatnya memandang ke luar ruangan. Aku sengaja menaruhnya di ujung kamar supaya bisa melihat lampu kota bandung karena kami berada di lantai 5. Aku tahu dia kesepian walau dia sulit berbicara, setidaknya lampu-lampu itu bisa menemaninya. Walau dia tidak pernah berbicara tapi aku bisa melihat kesedihan dari sorot matanya setiap kali aku bertanya tentang keluarganya. Aku tak tahu bagaimana perasaannya, ditinggalkan, kesepian, lumpuh, sulit berbicara, gangguan ingatan dan tidak dapat berbuat apapun. Sekilas aku rindu senyumannya. Aku dekati dia yang sedang melihat keluar sana, tempat dimana semua rahasia tentang masa lalunya tertutup rapat dan tak dapat kuruntuhkan. Dia menatapku dan aku tersenyum. Sebuah pembicaraan tanpa kata-kata, sebuah senyuman yang mengartikan semuanya. Tanpa kusadari bahwa itu adalah senyuman terakhirnya sebelum keesokan harinya ketika sedang ada rapat aku mendapat telfon bahwa papih sudah pergi. Aku segera berlari dan terakhir kulihat lagi wajah itu, wajah yang tidak pernah mengeluh, wajah yang sudah tidak ada beban, begitu bersih. Aku sudah merawatnya selama sebulan. Aku menangis, bahkan aku belum sempat membuatnya bertemu dengan keluarganya. Belum sempat. Sedih sekali. Kini dia pergi. Aku menyesal mengapa aku tidak sempat menemaninya lebih sering, mengapa aku tidak berhasil menemukan keluarganya? Haruskah dia meninggal sendirian? Dimanakah dia akan dikuburkan? Siapa yang akan mendoakan dan membawanya pergi? Ataukah mungkin badannya dijadikan tempat pembelajaran para mahasiswa kedokteran baru? Aku tidak tahu. Dia adalah penyesalan terbesarku.... dialah bunga biruku,,,,

In memoriam of papih,,, endang suherman,,,,,