Dia,, wanita setengah baya,,
Dalam usianya di 30 something itu,, telah banyak yang telah dilaluinya,,
Berawal dari sebuah kesalahan paradigma,,
Hingga akhirnya dia menikah di usia belia,,
Saat baru lulus sekolah dasar saja,, itupun tanpa restu orang tua,, itu hanya gairah masa muda..
Sebuah realita dibalut luka,, dia,, ditinggalkan lelaki yang telah memberinya seorang putra,, tepat 40 hari setelah kematian putra tunggalnya karena sebuah penyakit paru. Belum sembuh luka batinnya karena kehilangan seorang putra, ia harus menelan kenyataan pahit bahwa ayah sang anak yang telah tiada itu sudah menikah lagi. dan kehilangan tempat tinggal. Alasan sang pria itu tidak masuk akal dan terlalu dibuat-buat. Katanya, karena pria itu ingin punya anak. Bukankah sudah terbukti bahwa wanita ini dapat menghasilkan keturunan? Hanya saja anak itu harus mengalah dengan penyakit, keterbatasan dana dan kekurangan gizi? Haruskah dipertanyakan lagi? Biarlah, itu urusannya..
Ia berusaha untuk membangun kembali kehidupannya, jatuh pada pelukan lelaki lain. Dunia memang penuh sandiwara. Dia pernah merasakan perihnya dimadu, namun kini ia melakoni peran sebagai istri muda. Ironi. Yah, itulah hidup ini. Perkawinannya yang keduapun tidak mulus. Alih-alih bersedih, ia hanya berkata "mungkin hanya sepanjang itu jodohnya". Sebuah pernyataan yang membuat saya tercengang. Bukankah pernikahan itu sakral adanya? Kali inipun saya membatasi diri saya dengan berkata,, biarlah, itu urusannya. Dalam pernikahan kali ini, tidak ada seorang anak yang dihasilkan. Dan itu cukup untuk menghapus kenangan tanpa ada sesuatu yang berarti.
Tragis. Pilu. Dalam usianya yang masih relatif muda, dia telah menjalani berbagai pengalaman pahit. Berasal dari keluarga yang juga bercerai mungkin menjadi salah satu alasan mengapa ia bisa cukup tegar menjalaninya. Apalagi didukung dengan pemikiran "menikah itu diperbolehkan". Mungkin melihat kedua orang tuanya sama-sama menikah kembali mungkin menjadi alasannya untuk memilih jalan yang sama, menikah untuk kedua kalinya.
Saat saya bertanya, adakah keinginannya untuk membina rumah tangga lagi? Ternyata dia sama sekali tidak merasa kapok. Dia masih mau. Apakah ini timbul dari perasaan ketakutan dan keinginan akan kenyamanan? Atau kehausan kasih sayang? Atau ini hanyalah gairah setengah baya? Kali ini, saya hanya tersenyum dan berkata dalam hati untuk terakhir kalinya,,, itu urusannya..