Minggu, 16 Agustus 2015

Real cost BPJS, please.. Be real!

Terlalu banyak komentar miring tentang BPJS... Pro kontra itu biasa.. Banyak masyarakat yang diuntungkan dengan menggunakan BPJS, namun tidak banyak kekecewaan yang digulirkan dari pihak tenaga kerja, which is doctor.. Nyinyir miring pun menajam dimana ketika dokter mulai "buka suara" tentang betapa mereka dibayar rendah dibandingkan dengan resiko.. Sementara masyarakat menganggap dokter kan pelayanan..



Ah, kata pembuka terlalu naif.. Oke, stop about that.. Skrg tentang BPJS.. Liatlah kenyataan yang saya hadapi..

Saya bekerja di RS swasta tipe B, suatu RS yang tentu merupakan rujukan ketika RS tipe C tidak mampu menangani.. Perawatan untuk pasien stroke perdarahan hanya dipatok 3,8 juta. Kita sebut saja CT scan 1 juta, laboratorium 750.000, sewa kamar 500.000/ malam. Pasien stroke perdarahan tidak jarang tensi tinggi dimana kami harus memberikan obat hipertensi lewat infus.. Sekali masuk bisa menembus ratusan ribu rupiah. Belum termasuk infus, belum alat kesehatan lain seperti NGT (selang makan, kateter, dll).. BPJS hanya memberikan plafon 3,8 juta. Okelah, kita bisa naikkan dengan diagnosa lain, tapiii... Tidak akan jauh berbeda plafonnya... Well dude, itu duit dr bpjs hanya cukup sehari atau dua hari pengobatan.. Pasien stroke ga mungkin hari ini dirawat bsk pulang.. Jauh kan? Kalau begitu RS rugi dong... Ya iyaaa, SANGAT dirugikan! Oleh karena itu, sebaiknya peserta BPJS jangan berteriak tanpa tahu keadaannya.. Jika anda bertanya pada pada BPJS, mereka dengan lantang berkata... SEMUA DITANGGUNG! Tapi biaya yg dikembalikan ke rs hanya sebatas plafon.. Sisanya urusan RS! Jahat? Sangat! Tapi itulah yang diagungkan oleh petinggi negara ini. Kesehatan yang dijadikan ajang politik. Mungkin dalam benak anda, siapa yg membuat plafon itu? Bukannya dokter juga? Ahahaha.... Kalau sajaaa mereka mendengar jeritan dan real cost dr pihak RS dan kolegium dokter yang bersangkutan, pasti tidak akan dokter berteriak kekurangan, kan? Berfikirlah... 

Belum lagi permasalahan dia poli dimana plafon sehari hanya 160.000-an.. Obat tidak akan diberi semua pastinya. Lalu bagaimana caranya? Apa pasien harus datang setiap minggu untuk mengambil obat? Tahu apa kebijakan BPJS? Kedatangan selanjutnya dengan diagnosa yang sama dalam 1 bulan, hanya dibayar 1 kali, alias kasarnya lo mau datang beberapa kali dalam sebulan, BPJS tetep cm bayar 160.000.. Sisanya? Urusan RS! Ahahaaha... Ironi? Sangat! 

Wahai masyarakat yang saya cintai, itu hanya segelintir permasalahan.. Dokter dipusingkan dengan penyakit, harus dibatasi dengan minimnya budget.. Belum lagi semua RS harus menerima BPJS.. Artinya, pemerintah secara tidak langsung ingin memandulkan atau mematikan RS.. Berbeda dengan RS pemerintah, RS pemerintah itu gaji karyawan, biaya operasional dll dibayar pemerintah.. Kalau RS swasta, semua biaya ditanggung sendiri.. Kalo merugi seperti ini? Bukalah mata anda.. Kami mengeluhkan minimnya standar yang bisa kami lakukan untuk pasien.. Kami juga bisa lebih namun jika kami disunat sana sini, yang ada hanya minimal.. Hati kami perih..

Tampaknya masyarakat banyak yang tidak mengetahui hal ini... Masih banyak hal aneh yang kami temui.. Masalah memang kompleks dan unik. Misalnya.. Ada seorang keluarga pasien saya, keluarganya itu adalah seorang tenaga kesehatan terhormat dengan posisi esselon 4 di dinkes, meminta saudaranya dirawat di ICU. Pertama, tidak ada indikasi membutuhkan ICU. Bahkan.. Dia tidak melihat pasiennya sama sekali hanya via telfon dan bbm (pasien masih bisa menjawab dengan baik, kondisi umum baik).. Belum lagi BPJS hanya bisa menanggung 1 hari di ICU.. Tapi paling fatal itu ya karena tidak ada indikasi dirawat di ICU! Sangat disayangkan budaya "bos" seperti ini..

Itulah hidup kami.. Setiap hari.. Jadi jangan salahkan jika kami stres memikirkan bagaimana keselamatan pasien kami dengan cara yang efektif (jika tidak disebut hemat atau irit).. Semoga indonesia semakin sehat, menjadi lebih baik.. Dokternya tidak ikut sakit. Atau.. Stres dan menangis seperti di bawah ini, ahahah... Tenang, kami sudah biasa hidup dalam tekanan..