Hari ini, beberapa ibu muda dan satu-dua orang ibu setengah baya tampak duduk berjejer. Satu persatu datang dan tampak mulai memenuhi ruang tunggu itu. Bukan, kami datang bukan untuk demo buruh. Kami duduk manis menunggu dokter kandungan kami di salah satu rumah sakit swasta terbaik yang telah dibangun sejak 1921 itu. Hari itu adalah jadwal kontrol saya. Karena sudah memasuki trimester ketiga, maka frekuensi kunjungan saya adalah 2 minggu sekali. Berhubung karena dokternya belum datang, ditambah kelaparan dan pantat saya sudah pegal duduk karena menunggu maka saya memutuskan untuk melihat-lihat tempat perawatan untuk saya melahirkan nanti. Melihat seorang ibu dengan perut gembung dan memakai tongkat bantu jalan maka para perawat hingga satpam sibuk menawarkan diri untuk membantu saya menggunakan kursi roda yang disediakan rumah sakit. hehehe, saya kan mau belajar berjalan..
Dan sayapun melihat kondisi kamar bersalin yang disediakan rumah sakit ini. Di rumah sakit ini memang menyokong rooming in (ibu dan anak satu kamar), inisiasi menyusui dini (lihat postingan saya sebelumnya http://icoeth.blogspot.com/2012/04/asi-vs-susu-formula-imd-rooming-in.html ), tenaga yang profesional dan ramah (saya pernah dirawat disini, hehe), makanan yang lumayan dan saya tenang karena memiliki fasilitas NICU / neonatal intensive care unit (saya dulu pernah bekerja di rumah sakit ibu dan anak tanpa fasilitas NICU jadi saya merasa hal ini penting untuk menjadikan pilihan saya untuk memilih rumah sakit tempat saya melahirkan nanti,,, walaupun saya sangat berharap bahwa bayi saya sehat tanpa perlu untuk masuk ke ruang NICU itu,, amiiinnn).. Saya memesan ruangan satu kamar satu orang saja, bukan untuk sok eksklusif tapi saya tidak ingin terlalu banyak orang lalu lalang berkunjung akan mengganggu bayi saya, meningkatkan resiko infeksi (hahaha, namanya juga anak pertama jadi agak rese mommynya,,). Dan sayapun kembali ke poliklinik dan disinilah cerita dimulai,,
Saya duduk di kursi, tiba-tiba datang seorang wanita muda yang cantik. Dia tersenyum ramah sekali dan bertanya sekarang sudah nomer berapa yang dipanggil. Dia nomer 12 (saya nomer 20, hiks T-T). Dia bercerita bahwa ayah mertuanya adalah dokter jantung di rumah sakit ini (dia juga adalah salah satu mantan dosen saya ketika kuliah dulu) dan mantunya ini disarankan untuk kontrol ke rumah sakit ini (mungkin alasan mertuanya sama dengan alasan saya). Kami mengobrol ngalor ngidul. Ini adalah pengalaman pertamanya hamil dan dia mual-mual, sering buang angin (hohoho, dia tidak tahu seberapa dahsyatnya saya buang angin,, silakan tanyakan pada suami saya).. Sebenarnya pelajaran yang bisa saya ambil dari percakapan ini adalah setiap hari adalah waktu kita untuk belajar hal baru setiap harinya. Pelajaran berharga itu terhampar di depan mata, tidak selamanya dalam bentuk textbook namun pelajaran kehidupan,, dokterpun tidak tahu bagaimana rasanya digips, hamil dan melahirkan kalau tidak pernah merasakan sendiri, jadi jangan pernah berhenti untuk belajar,, karena pengetahuan hikmat dan kebijaksanaan dapat datang kapan saja,,
Setelah wanita itu pulang, ibu-ibu disebelahku mengajak berbicara. Belum terlalu tua, sekitaran 40 something.. Ternyata ada kista dalam organ reproduksinya. Dia tidak mau dioperasi, ingin perawatan biasa saja. Obrolan berlanjut.. Ah, kali ini ternyata dia adalah salah satu teman kakak kelas saya yang sudah lulus spesialis saraf. Dunia ini memang kecil... Dia takjub melihat saya kemana-mana sendirian dalam kondisi seperti ini, bahkan dia berniat untuk mengantarkan saya pulang. Pelajaran saya yang kedua adalah tangan Tuhan bekerja dimana saja. Sebaiknya kita juga tidak lupa untuk mengulurkan tangan pada orang lain, karena Diapun selalu mengulurkan tanganNya bagi kita..
Cerita terakhir muncul ketika saya sedang mengantri untuk mengambil obat. Seperti biasa, semua orang berpindah tempat ketika melihat saya mencari tempat duduk (hehhee),, Dan tiba-tiba ibu-ibu disebelah saya langsung menangis sambil memegangi saya,, katanya, "Anak saya tidak mau pake tongkat seperti adik". Saya tertegun. Dia mulai bercerita, 6 bulan yang lalu, anak pertamanya mengeluhkan lemah kaki sebelah kiri, baal, rasa nyeri yang mengikat, menjalar dan bertambah dengan batuk dan mengedan, kemudian ke kaki sebelahnya serta disertai dengan gangguan vegetatif (buang air besar dan air kecil), singkat cerita, saya menebak bahwa penyakitkan adalah mieloradikulopati, mungkin disebabkan karena infeksi, trauma atau tumor.. Yup, ternyata residen saraf ini benar (horeee!!! maaf, dokter bukan jahat berbahagia karena penyakit seseorang namun ada kebahagiaan tersendiri apabiila kami dapat mendiagnosa dengan tepat sehingga kami dapat memberikan yang terbaik untuk para pasien kami). Namun tidak dapat dioperasi lagi. Sayang sekali. Namun yang membuat berat adalah depresi. Anak ini sudah semester 8, sedikit lagi lulus namun dia malu untuk bertemu dengan teman-temannya. Saya mengacungkan jempol pada ibu ini. Betapa dia tidak lelah untuk menyetir tasikmalaya-bandung untuk kontrol. Terlihat bahwa dia dari keluarga yang cukup berada. Dan si ibu ini terlihat sangat lelah, dia bercerita dalam satu bulan berat badannya turun 6 kilogram. Ah, saya mengerti lelahnya. Dia bercerita, anaknya tidak mau menggunakan kateter (selang untuk buang air kecil) sehingga si ibu ini harus membersihkan anaknya setiap kali buang air. Ah, saya jadi teringat mama saya yang selalu bangun tengah malam untuk memastikan saya mau pipis atau tidak ketika saya sedang digips, atau dengan tegarnya membersihkan saya ketika buang air besar karena saya 3 minggu tidak bisa bergerak kemana-mana. Dan pada akhirnya si ibu itu sudah pasrah ketika dokter sudah mengangkat tangan karena tidak mampu mengobati pasiennya. Masih hangat dalam ingatan saya, betapa saya sedih melihat pasien-pasien saya dengan kondisi serupa yang hanya saya berikan vitamin dan anti nyeri. Mereka menatap saya ingin sembuh dari kelumpuhan mereka (tatapan mereka sungguh membuat saya sedih), jika ada yang bisa dioperasi maka masih ada harapan, namun kebanayakan tidak. Belum lagi pemeriksaan MRI dimana kebanyakan pasien yang saya tangani adalah pasien jamkesmas/gakinda sehingga tidak dicover untuk dilakukan pemeriksaan tersebut. Mereka dirawat dan akhirnya pulang dengan kondisi yang sama (dan akan semakin memburuk). Saat itu saya kembali disadarkan, bahwa dokter hanyalah perpanjangan tanganNya, kami tidak menyembuhkan, kami hanya membuka jalan, segala kesembuhan ada di dalamNya.
Inilah cerita saya, cerita di pagi ini,, berbagi untuk anda semua,, Maaf, saya akan ngemil dulu, anak dalam rahim saya sudah menendang-nendang ingin diberi makan.. Fyi, saya sudah makan satu loyang pizza namun anak itu harus diberi nasi. Ga mempan kalo pizza,, hehehe,, god bless,,