Minggu, 27 November 2011

Senja itu berakhir disini

Anak lelaki itu menutup pintu rumahnya hati-hati. Perlahan dia berjalan agar tidak menimbulkan suara. Dia beranjak menuju lantai dua rumah itu. Pelannn sekali dibukanya pintu kamar berwarna pink itu. Lihat, senyum dua bocah kecil yang tertidur pulas itu mampu menghilangkan keletihannya bekerja sepanjang malam ini. Dibereskannya selimut dua bocah cantik itu, dikecupnya pelan. Anak lelaki itu tersenyum. "Maaf kakak tidak dapat pulang cepat menemani kalian", bisiknya pelan. Salah satu bocah itu menggeliat. Anak lelaki itu panik, dia pikir dia membangunnnya. Tapi, sang bocah tertidur pulas. Anak lelaki itu tersenyum kembali. Dilihatnya jam yang sudah menunjukkan angka 12. Ah, masih punya waktu 4 jam untuk istirahat. Dia mengambil selimut dan menggelarnya di lantai. Perlahan dia mulai terlelap.

Tong,,,tong,,,

Terdengar suara tertawa di bawah. Ada dua orang dewasa di sana. Terbahak-bahak. Tampak mereka sangat bahagia. Dan keributan itu muncul. Anak lelaki itu terusik tidurnya dengan suara itu. Dia mencoba untuk menangkap suara yang ada di bawah. Tertawa, saling menggelitik, terdengar suara pintu kamar bawah yang dibuka, suara-suara manja. Anak lelaki itu terduduk dan menghela nafas panjang. Tuhan, begini lagi. Begini lagi. Ditutupnya telinganya dan mencoba untuk tidur namun matanya tak pernah terpejam. Dibukanya sebuah foto usang dari sakunya. Ada wajah seorang wanita cantik disana bersama tiga orang anak dan badan pria yang sudah terpotong foto di bagian kepalanya. Bocah itu mengusap wajah wanita itu, "kami baik2 saja", sambil menahan tangis.




Tong,,tong,,tong,,tong,,

Sang anak lelaki perlahan turun lalu pergi ke dapur. Inilah kesehariannya, memasak makanan pria itu, dua bocah yg disayanginya, untuk dirinya dan... hari ini ada tambahan lagi, untuk pelacur itu. Dia harus segera melakukannya sebelum berangkat meloper koran dan sekolah. Betapa gesitnya tangan-tangan kecil itu, tampak jelas warisan dari wanita cantik yg ada di foto itu. "Masak apa?" tiba-tiba terdengar suara perempuan, suara itu kontan membuat si anak lelaki kaget. Anak lelaki itu tidak menjawab. Perempuan itu, wanita setengah baya yang hanya menggenakan kemeja pria sambil merokok. Dia mencicipi makanan anak lelaki itu. "Lumayan", katanya sambil menghembuskan rokok ke wajah anak lelaki itu. Amarahnya memuncak namun dilihatnya foto usang itu dan dia kembali tersenyum.

Tong,,tong,,tong,,tong,,tong,,,

Anak lelaki itu sudah siap dengan pakaian sekolah dan tasnya. Perlahan dikecupnya kening kedua bocah itu. "Kakak berangkat dulu ya sayang, baik-baik di rumah". Kedua bocah itu terbangun, mereka selalu terbangun namun anak lelaki itu selalu menyuruh untuk tidur kembali. "Ingat, tutup telingamu yaa" kata anak itu pada mereka sambil melakukan gerakan menutup telinga. Sang anak perlahan turun ke bawah. Lihatlah, pria itu sudah menghadang di depan pintu. Bau alkohol yang menyambutnya. "Mana?", kata pria itu singkat. Anak lelaki itu ragu. "Mana hasil kerjamu kemarin? Mau dikasi makan apa dua adikmu itu, hah? Manusia tak berguna! Sama saja dengan ibumu yang mati itu!", teriak sang pria. Anak itu mengepalkan tangannya. Hatinya panas, pipinya memerah. Jangan kau sebut ibuku tidak berguna, bodoh. Katanya dalam hati. "Goblok!", kata pria itu sambil menampar si anak lelaki. Si anak lelaki itu mau marah, namun sekilas dilihatnya dua bocah itu di ujung tangga atas, ketakutan, menangis dan saling berpelukan. Dia mengalah, setiap hari.. Dia mengeluarkan uang dari sakunya. "Hanya segini? Kau kerja apa?", kata pria itu sambil ingin menampar lagi. "Sudahlah", tiba-tiba terdengar suara perempuan itu. Sang pria menurut, mencium si perempuan dan menggandengnya kembali ke kamar. Anak itu lepas kali ini. Anak lelaki itu mengisyaratkan kedua bocah itu untuk kembali ke kamar. Dan anak lelaki itu pergi sambil menggayuh sepedanya kencang-kencang menuju tempat loper. Dua pasang mata bocah itu memandangi punggungnya, berpelukan dan menangis. Langitpun turut bersedih karenanya, lihatlah rintik-rintik hujanpun turut menemani perjalanan anak itu.


Sepulang sekolah, anak lelaki itu bergegas ke tempat makan cepat saji. Beruntung dia bisa bekerja disini, semua karena pemiliknya mengenal dengan baik wanita cantik di foto usang yang dulu biasa dipanggil anak lelaki itu "ibu". Namun kali ini badannya tidak enak. Dipaksanya badan kecilnya untuk bekerja. Ulet, rajin dan ramah, itulah yang membuat pemilik tempat makan ini menyukai anak lelaki itu, dan apabila tersenyum wajahnya sangat persis dengan ibunya, sebuah senyuman yang sempurna. Namun kali ini berbeda, mungkin karena akhir-akhir ini dia bekerja tambahan di tempat lain hingga malam hari buta, hanya istirahat sebentar dan kemudian bekerja lagi. Tidak ada senyuman, yang ada hanya wajah pucat. Sang pemilik tempat makan itu menyuruhnya pulang. Sang anak lelaki itu keberatan, dia harus mengumpulkan uang. Sang pemilik tempat makan itu mengerti keadaannya dan tetap memaksanya pulang dan memberi uang gajinya hari ini, malah ditambah. Sang anak menyerahkan kelebihan uang itu namun sang pemilik tempat makan itu memaksanya untuk menerima. Ragu-ragu dan hampir menangis, dia berulang-ulang mengucapkan terima kasih. Sang anak lelaki itu pergi dengan sepedanya. Diam-diam, selama ini sang pemilik tempat makan itu memang membuntuti si anak lelaki sehingga dia mengetahui persis keadaan sang anak lelaki itu, namun dia tidak berani untuk mengambil anak dan kedua bocah itu pergi karena pria itu kasar sekali.

Anak lelaki itu ragu untuk melangkah ke rumah. Pelan, dia masuk ke garasi, dia menggeser perlahan sekali sebuah meja. Tampak lobang berisi kaleng disana. Dia memasukkan sebagian uang yang didapatnya kesana dan ditutupnya kembali lobang itu dengan meja. Ya, selama ini anak itu selalu menyisihkan sebagian uang yang didapatnya di sana. Dia berjalan ke rumah. "Kenapa kamu pulang jam segini?" hardik pria itu. "Sakit", jawabnya pendek. "Mana uangnya?", tanyanya. Perlahan dikeluarkannya dari sakunya. "Hanya segini?", ditamparnya anak itu. "Tidak berguna! Pembohong! Pura-pura sakit!" teriak sang pria sambil memukuli anak itu bertubi-tubi. Anak itu terlalu letih dan sakit untuk melawan. Dia tersungkur di lantai. "Jangan, jangan, kakak sedang sakit. Jangan pukul, ayah.", si bocah itu berlari merangkul anak lelaki itu. Tapi kemarahan sang pria belum selesai, lihat saja, bukan hanya si anak lelaki itu yang menjadi sasaran bogem dirinya, kini bocah manis itupun terkena pukulannya. Perempuan itu keluar dari kamar, menenangkan si pria dengan mengajaknya pergi, keluar dari rumah. Untunglah sang pria itu menurut. Anak lelaki itu terdiam. Dia berlari ke atas, menenteng koper kecil yang berisi pakaian dua bocah itu dan dirinya. Pria itu boleh mencacinya, pria itu boleh memukulinya namun dia tidak boleh menyakiti dua bocah itu. Itu adalah janjinya pada ibunya. Dua bocah itu menangis di depan kamar. Anak lelaki itu tersenyum dan menggandeng keduanya keluar. Sebelum berangkat, tak lupa dia membawa kaleng yang disimpannya di kolong meja di garasi. Inilah waktunya, kata anak lelaki itu pada dirinya sendiri. Dikeluarkannya sepeda. Lihat, betapa langit tidak terharu melihat ketiga anak itu pergi menjauhi masa lalu yang terkungkung, dengan sepeda kecil itu.

Toootttt,,,,tooottttt,,,tttooooottttttt


Perlahan kereta itu berjalan. Dua bocah kecil tertidur lelah dalam pelukan sang anak lelaki itu. Tekad mereka sudah bulat. Pergi dari gelapnya masa lalu. Uang dari hasil penjualan sepeda dan hasil kerjanya selama ini cukup untuk mengawali sebuah mimpi baru, di tempat yang baru. Langit senja memeluk perjalanan mereka. Dikeluarkannya foto usang itu. Temani perjalanan kami, ibu, kata anak lelaki itu. Pandangannya jauh ke sana. Muka anak lelaki itu tenang sekali. Baru kali ini dia dapat terlelap begitu nyenyak. Langit kali inipun begitu hangat, sehangat tatapan mata dan senyuman wanita itu. Ah, langit sedang tersenyum, wanita dalam foto itupun juga pasti sedang tersenyum, dan para malaikat turut menjaga ketiga bocah yang sedang tertidur dan saling berpelukan. Biarkan mereka tidur malam ini, biarkan mereka menyongsong pagi..