Sabtu, 28 Agustus 2010

pelajaran dari seorang tukang jamuku.....


Dinginnya pagi ini tidak akan mengalahkan aku. Sambil memarut, aku memalingkan wajahku ke tempat. Tidur. Rumah ini bahkan tidak memiliki pintu, pikirku. Namun aku bersukur karena aku dapat dengan mudah melihat anak-anakku dari dapur. Aku tersenyum. Karena merekalah aku berjuang, karena cintaku. Merekalah alasan mengapa aku tetap bertahan bangun sepagi ini. "Maafkan ibu, nak.", kataku lirih. Tak terasa air mata ini megalir. Padahal seharusnya waktu sudah menghapus semua kenangan itu namun entah mengapa bayangan itu terus membayangi.

Aku segera membereskan semua keperluanku dan sarapan pagi anak-anak. Perlahan aku membangunkan mereka. "Andi, ani,, bangun.". Berulang kali kupanggil namun mereka tak kunjung bangun. "Nanti terlambat sekolah" kataku setengah berteriak setelah tidak berhasil membangunkan mereka dengan halus. Mereka mulai menggeliat dan menggerutu. Si kecil andi berteriak,"andi ga mau sekolah!". "ANDI", bentakku yang mulai tidak sabaran. "Kamu mau terus-terusan seperti ini? Kamu mau susah terus? Kamu mau selalu terlambat bayaran sekolah? Ibu sudah susah payah menyekolahkan kamu, kamu malah merengek tidak mau sekolah. Ibu berjalan seharian, bangun dari pagi, jalan berkilo-kilo meter demi siapa? Demi kamu! Supaya kamu ga seperti ibu lagi!", teriakku sambil hampir menangis. Sekilas aku melihat andi hampir menangis sambil dipeluk kakaknya. Kemudian kakaknya membawanya dan memandikannya. Aku ingin menangis. Sebenarnya aku tidak tega membentaknya. Maafkan ibu, nak kataku dalam hati. Kami sarapan dalam keadaan diam. Ani, si kakak memecah keheningan kami dengan berpamitan dan mencium tanganku. "Kalian hati-hati di jalan. Maafkan ibu tadi marah-marah ya," kataku sambil mengelus kepala Andi. Anak itu tersenyum, Malaikat keclku. Dia bahkan sudah bisa melupakan semuanya. Kembali kupandangi mereka dari kejauhan.

Dan kembali aku meratapi kehidupan ini. Aku pergi dan memulai perjalanan ini. Kugendong barang jualanku. Ya, aku ini adalah seorang penjual jamu. Aku mencari peruntungan ke kota ini karena aku sudah tidak tahan di desa. Suamiku, maaf mantan suamiku lebih memilih gadis lain. Dia bermain di belakangku ketika aku bekerja di sawah. Kelakuan yang bejat. Sejak saat itu aku berjanji akan pergi dan disinilah aku berada.

Mencari peruntungan di kota yang terkadang tidak bersahabat ini. Namun aku sadar bahwa aku tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Dengan berbekal uang hasil menjual sawah yang diwariskan orang tuaku, aku memberanikan diri membuat jamu. Suatu keahlian yang dimiliki eyang. Beruntung semenjak kecil aku sering membantu eyangku. Setidaknya aku tidak harus bergantung pada pria tak tahu malu itu. Berat rasanya membiaya hidup kedua anakku seorang diri namun tidak seberat perjuanganku sehari-hari. Gunjingan karena statusku sebagai janda, godaan berbagai macam lelaki hidung belang yang berusaha merayu dan berjanji gombal akan menjagaku dan anak-anakku padahal mereka hanya mau untuk mengajakku tidur, cemoohan yang dirasakan bukan saja olehku namun juga anak-anakku karena aku meminta mereka untuk berjualan di sekolah mereka, belum lagi perjalanan yang harus aku tempuh. Panas terik, jarak yang jauh seakan tidak kuingat. Tapi aku tetap berjuang, karena hidup ini belumlah berakhir..........